Menikah Tak Cuma Soal Bahagia, Ada 7 Tantangan Ini yang Harus Dihadapi Bersama

Pernikahan merupakan perjalanan seumur hidup. Di awal pernikahan, hidup rasanya begitu indah dan penuh warna. Rasanya sulit untuk kita berpisah sebentar saja dengan pasangan. Seiring berjalannya waktu gelora itu bisa memudar. 
Kamu terbiasa menjalankan hari-hari bersama pasangan, disibukkan dengan berbagai aktivitas dan rutinitas. Beberapa pasangan mungkin merasa jenuh atau bahkan lupa apa yang membuat mereka mengucapkan “I do” ketika menikah dulu. 

banner consideration shipping bg blue

Pernahkah tiba-tiba terbesit di kepala “ternyata menjalani pernikahan tidak seindah yang dibayangkan” atau “dulu pasanganku begini, kok sekarang berubah?” dan “dulu rasanya semua indah, sekarang hambar”. Bagi pasangan yang telah memiliki anak, beberapa prioritas bergeser dengan hadirnya buah hati. Jika dulu kita dapat senantiasa memperhatikan pasangan, sekarang mungkin pasangan jadi dinomorduakan.
Kita semua menyadari bahwa membina keharmonisan dengan pasangan merupakan hal yang penting. Juga bagi pasangan yang telah memiliki buah hati. Seorang anak berhak memiliki kedua orang tua yang bahagia dan tumbuh di lingkungan yang penuh kasih sayang. Menjaga relasi dengan pasangan merupakan salah satu investasi untuk kesehatan mental anak kita. 
Berbagai tantangan mungkin kita hadapi di sepanjang pernikahan dan itu merupakan hal yang wajar. Hal terpenting adalah bagaimana kamu dan pasangan bersama-sama mengatasi tantangan yang ada. Berikut beberapa tantangan yang mungkin dihadapi dalam pernikahan:

1. Konsepsi yang salah tentang pernikahan

Sebelum menikah, kita memiliki berbagai gambaran tentang pernikahan. Misalnya, pernikahan menyelesaikan berbagai masalah, we’re going to live happily ever after, atau anggapan bahwa pasangan adalah seseorang yang melengkapi kita. Kalimat tadi mungkin terdengar romantis, but your spouse is not going to complete you. 
Tentunya kamu adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadap kebahagiaanmu sendiri. Kamu pula yang bertanggung jawab bagaimana mengembangkan diri sehingga dapat memberikan versi terbaik dari dirimu ke dalam pernikahan. Menikah adalah salah satu keputusan terbesar dalam hidup. 
Menikah bukanlah magic pills yang melenyapkan semua masalah. Pun, pasangan yang kamu pilih untuk menghabiskan sisa hidupmu juga turut berperan dalam menentukan kesehatan mental dirimu dan anak. 

2. Konflik dengan ipar atau mertua

Hal ini mungkin terdengar klise. Namun ketika pasangan tidak siap untuk menjembatani pasangan dan keluarganya, hal ini dapat memicu konflik. Saat pacaran mungkin kita masih sangat berhati-hati dan menghindari konflik dengan calon ipar atau mertua. 
Kita juga mungkin tidak sepenuhnya menyampaikan pandangan atau opini kita, apalagi ketika kita tahu bahwa kita akan berbeda pendapat dengan mereka. Ketika hal ini terus menerus terjadi selama pernikahan, maka jelas ini akan rentan menimbulkan konflik. 

3. Perbedaan pandangan dan rencana bersama pasangan

Topik mengenai politik, pandangan hidup, values, agama biasanya jarang dibahas saat sedang pacaran. Ketika menikah, perbedaan-perbedaan ini justru rentan memicu konflik. Ketika musim pemilihan presiden, perbedaan pilihan antar pasangan mungkin terjadi. “Kok bisa ia memilih X sebagai calon presiden? X kan begini begitu?” Apalagi ketika salah satu pasangan adalah pendukung garis keras calon presiden tertentu. 
Perbedaan dalam aspek agama tidak hanya perbedaan keyakinan dalam agama yang dianut. Meskipun pasangan tersebut menganut agama yang sama, cara seseorang menjalankan agamanya berpotensi memicu konflik. Nilai yang dianut dalam hidup dan berbagai nilai lain yang ingin diterapkan dalam pengasuhan anak juga penting untuk didiskusikan dengan pasangan. 
Bayangkan konflik yang mungkin terjadi ketika misalnya ayah menerapkan prinsip untuk mendisiplinkan anak perlu menggunakan kekerasan atau hukuman fisik, sedangkan menurut ibu dengan alasan apapun hukuman fisik tidak boleh dilakukan. Perbedaan pandangan dapat terjadi dalam berbagai aspek. Penting sekali untuk diskusi secara terbuka dengan pasangan mengenai berbagai hal, bahkan untuk hal yang dianggap sensitif.

banner consideration promotion bg blue

Menjalankan pernikahan juga memerlukan perencanaan yang matang. Pastikan kamu dan pasangan sepakat mengenai berbagai hal seperti; di mana akan tinggal setelah menikah, berapa jumlah anak yang akan dimiliki, apakah akan KB setelah kelahiran anak pertama atau tidak, di mana akan menyekolahkan anak, perencanaan keuangan, dan lain sebagainya. 

4. Tidak lagi merasa connected atau ‘nyambung’ dengan pasangan

Kehidupan yang kita jalani cukup menyita tenaga dan perhatian. pekerjaan, anak, tugas harian di rumah, teman-teman, dan hal-hal lain sudah cukup melelahkan. Berbagai kesibukan dan tuntutan tanggung jawab seolah menjauhkan kita dari pasangan. Kita tidak lagi se-connected itu dengan pasangan. Ketika kita merasa jauh dengan pasangan maka ini rawan memicu berbagai masalah lainnya. 

5. Hutang yang tidak dibicarakan

Saat pacaran dulu, keuangan dan hutang mungkin tidak terlalu dibicarakan. Bahkan ketika menikah, beberapa pasangan kurang terbuka soal keuangan karena dianggap hal yang rawan. Besarnya pemasukan, kebutuhan tiap bulannya, hutang yang ada merupakan hal yang penting dibicarakan secara terbuka. 

6. Kurangnya keterbukaan antar pasangan

Komunikasi merupakan kunci penting dari relasi apapun. Pernikahan (dan kehidupan) bisa saja mengalami fase yang dirasa berat. Jika salah satu pasangan merasa tugas atau beban mereka lebih banyak dibanding lainnya, hal ini berpotensi memicu konflik. Beban terasa lebih berat jika kondisi ini tidak dibicarakan secara terbuka dengan pasangan. 
Biasanya ketika seseorang mengetahui bahwa beban pasangannya begitu berat, kalimat yang muncul adalah “Mengapa kamu tidak bilang? Saya pasti akan membantu”. Jadi apapun yang kamu rasakan atau pikirkan, jangan sungkan untuk diskusikan dengan pasangan. 

7. Pembagian tugas dan peran yang setara antar pasangan

Hal yang mungkin tidak dibicarakan ketika masa pacaran adalah siapa mengerjakan apa, siapa yang bekerja, siapa yang bekerja dengan cara apa (jam kerja fixed atau fleksibel), siapa yang mendidik anak, siapa yang memandikan anak, siapa yang membersihkan rumah, siapa yang masak, siapa yang mencuci piring, siapa yang mengeluarkan sampah, dan lain sebagainya. Bagaimana pembagian peran dalam rumah tangga juga ditentukan oleh bagaimana seseorang dibesarkan. 
Dulu, pembagian tugas pasangan dipecah menjadi dua: ayah mencari nafkah dan ibu mengurus urusan domestik termasuk pengasuhan anak. Ini akhirnya membuat ayah tidak ikut terlibat dalam pengasuhan anak. Meski terkesan sepele, namun siapa mengerjakan apa penting untuk didiskusikan dengan pasangan.

banner decision halal bebas pengawet kategori mie bg lime green

Mungkin Lemoparents tipikal penganut paham ‘pendidikan anak adalah tanggung jawab kedua orangtuanya’. Bagus sekali, namun tetap perlu dibicarakan (terlebih di masa distance learning seperti saat ini), siapa yang bertugas mengajarkan pelajaran A dan siapa yang in charge untuk pelajaran B. Diskusi mengenai pembagian tugas mencegah satu pihak merasa bebannya terlampau berat dibanding yang lain. 
Artikel ini ditulis oleh Adisti F. Soegoto, M.Psi, psikolog anak dan seorang BFRP (Bach Foundation Registered Practitioner).
Privacy Notice

Ikuti media sosial kami